Konsep Mahabbah dan Ma'rifat dalam Tasawuf
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Komunikasi yang harus dijalin disetiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun. Sehingga maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Dalam makalah ini kita akan membahas mengenai konsep mahabbah dan ma’rifat.
Mahabbah adalah cinta, atau cinta yang luhur kepada Allah SWT yang suci dan tanpa syarat, tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah SWT yaitu keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang melakukannya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq).
Sedangkan ma’rifat merupakan ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati dapat melihat Tuhan. Menurut sufi jalan untuk memperoleh ma’rifat ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan sufi yang mereka namakan dengan maqamat, seperti zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifat.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian dari Mahabbah dan Ma’rifat?
Bagaimana Konsep Mahabbah dan Ma’rifat menurut para tokoh Sufi?
Apa saja syarat-syarat Mahabbah dan Ma’rifat?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengertian dari Mahabbah dan Ma’rifat.
Untuk mendeskripsikan Konsep Mahabbah dan Ma’rifat menurut para tokoh Sufi.
Untuk menjelaskan syarat-syarat Mahabbah dan Ma’rifat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Mahabbah dan Ma’rifat
a. Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah itu sendiri berasal dari kata ﻤﺤﺒﺔ - ﻴﺤﺐ - ﺃﺤﺐ yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. dan al-hubb yang berarti lawan dari al-Bugd yakni cinta lawan dari benci. Begitu juga memiliki makna al-Wadad yang artinya cinta, kasih sayang, persahabatan. Mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah SWT. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika berkeinginan untuk bertemu dengan kekasih, yaitu Allah SWT. Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya.
Menurut Harun Nasution, mahabbah ialah:
Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadaNya.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.
b. Pengertian Ma’rifat
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa - ya’rifu - ma’rifatan secara etimologi berarti mengenal, mengetahui, dan juga diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma’rifah dalam spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) karena ma’rifah ini adalah tingkat tertinggi dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenal Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Tuhan tanpa batasan. Ia menyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh sebab itu ia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan, dan amal shaleh.
Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tuhan). Ma’rifah merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah ibarat cahaya yang memancar dari nyala api
tersebut. Dalam terminologi kaum sufi ma’rifah disebut pengetahuan yang tidak ada
keraguan lagi di dalamnya ketika pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat
Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan ma’rifahZat
dan apa pula maksud dari ma’rifah sifat?” Maka jawabnya: “ma’rifah Zat mengetahui
bahwa sesungguhnya keagungan yang bersemayan dalam diri-Nya dan tidak ada
satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun ma’rifah sifat, adalah mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha
Mendengar, Maha Melihat dan dengan segala sifat kemahasempurna lainnya”.
2. Konsep Mahabbah dan Ma’rifat menurut para tokoh Sufi
a. Konsep Mahabbah menurut para tokoh Sufi
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Rabi’ah Al-Adawiyah dikenal dengan konsep mahabbah-nya. Hal ini diketahui dari jawabannya atas pertanyaan: Ketika Rabi’ah ditanya; “ Apakah kau cinta kepada Tuhan yang Maha Kuasa? ‘ya’. Apakah kau benci kepada syeitan? ‘tidak’, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syeitan.” Seterusnya Rabi’ah menyatakan: “ saya melihat Nabi dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabi’ah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab, Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada
makhluk lain.”
Ajaran yang dibawa oleh Rabi’ah adalah versi baru dalam kehidupan
kerohanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan oleh Hasan Basri yang bersifat
khauf dan raja’ dinaikkan tingkatnya oleh Rabi’ah al-Adawiyah ke tingkat zuhud
yang bersifat hubb (Cinta).
Mahabbah kepada Allah merupakan suatu keajaiban yang harus ditanamkan kepada setiap individu, karena tanpa adanya mahabbah, seseorang baru berada pada tingkatan yang paling dasar sekali yaitu tingkat muallaf. Menurut al-Saraf bahwa mahabbah itu mempunyai tiga tingkatan:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut namanama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji-Nya.
2. Cinta orang yang siddiq yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaranNya, pada ilmu-Nya dan lainnya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan, dan dengan demikian dapat melihat
rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Tuhan.
3. Cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul kepada Tuhan. Cintanya yang
serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta tapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai
masuk ke dalam diri yang dicintai.
Dan ada pula doa yang terkenal dan yang pernah diucapkan oleh Rabi’ah sebagai perwujudan cinta dan rindu seorang sufi terhadap Tuhannya, hingga baginya tak ada nafas dan detak jantung kecuali untuk merindu dambakan pertemuan dengan Sang penciptanya. Salah satu syairnya pula yang terkenal:
Tuhan
Apapun karunia-Mu untukku di dunia
Hibahkan pada musuh-musuh-Mu
Dan apapun karunia-Mu untukku di akhirat
Persembahkan pada sahabat-sahabat-Mu
Bagiku cukup Kau
Tuhan
Bila sujudku pada Mu karena takut neraka
Bakar aku dengan apinya
Dan bila sujudku pada-Mu karena damba surga
Tutup untukku surga itu
Namun, bila sujudku demi Kau semata Jangan palingkan wajah-Mu Aku rindu menatap keindahan-MU
Konsep Ma’rifat menurut para tokoh Sufi
Ilmu sejati atau Ma’rifat menurut Al Ghazali, bukanlah didapat semata-mata dengan akal. Ilmu yang sejati atau ma’rifat yang sebenarnya ialah mengenal Tuhan.
Para sufi menyebut ma’rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu, mereka mengatakan:
Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu, yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.
Apabila dia melihat cermin, yang dilihatnya juga adalah Allah SWT.
Ketika bangun maupun tidur, yang dilihatnya ialah Allah SWT.
Allah SWT tidak boleh dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk material tidak akan sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah SWT.
Ma’rifat menurut konsep Al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan penyucian jiwa dan dzikir kepada Allah SWT secara terus menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Mengenal Allah SWT adalah kewajiban bagi setiap manusia, demikian disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, karena dengan mengenal Tuhannya manusia akan mengenal dirinya. Menurut al-Ghazali seseorang tidak akan mampu mencapai derajat ma’rifatullah sebelum ia mengenal dirinya sendiri. Dengan demikian kemampuan manusia mencapai derajat ma’rifatullah tergantung pada kemampuannya mengenal diri sendiri. Juga sebaliknya manusia yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.
Dzunnun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Allah SWT menjadi tiga macam, yaitu : Ma’rifat al-Tauhid (awam), Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas), dan Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas).
Ma’rifat al-Tauhid (awam) sebagai ma’rifatnya orang awam, yaitu
ma’rifat yang diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui
perantara syahadat, tanpa disertai dengan argumentasi. Ma’rifat jenis
inilah yang pada umumya dimiliki oleh orang muslim. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan menurut, mudah mempercayai kabar
berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan
secara mendalam.
Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas) yang merupakan ma’rifatnya
mutakalimin dan filsuf (metode akal budi), yaitu ma’rifat tentang Allah
SWT melalui pemikiran dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat
rasional melalui berpikir spekulatif. Ma’rifat jenis kedua ini banyak
dimiliki oleh kaum ilmuan, filsuf, sastrawan, dan termasuk dalam
golongan orang-orang khas. Golongan ini memiliki ketajaman
intelektual, sehingga akan meneliti, memeriksa membandingkan dengan
kekuatan akalnya.
Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas) merupakan ma’rifat Waliyullah, yaitu ma’rifat tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh
melalui hati nuraninya. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena
ma’rifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian.
Melainkan anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliya’
yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT.
Syarat-syarat Mahabbah dan Ma’rifat
Syarat- Syarat Mahabbah
Seseorang yang cinta kepada orang lain tentu tidak mau melakukan apa yang tidak disukai orang yang dicintainya. Demikian pula kalau orang cinta kepada Allah, tentu dia tidak akan melakukan apa yang tidak disukai Allah, dia tidak mau melakukan maksiat. Ada hadis qudsi, Allah berfirman :” Sekiranya hambaku tahu bahwa aku merindukan dirinya untuk bertemu denganku, sekiranya hambaku tahu bagaimana Aku rindu kepadanya agar tidak maksiat kepadaku, pastilah tubuh mereka terbakar karena cinta dan kerinduannya untuk bertemu denganku.” Jika seseorang ingin mencapai tingkat mahabbah maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
Ma’rifat kepada Allah, makrifat kepada Allah mengantarkan orang yang mencintai Allah untuk bisa mengetahui segala sesuatu. Kita tidak mungkin mencintai sesuatu yang tidak kita kenal. Dengan demikian asas bagi cinta kepada Allah adalah makrifat kepada-Nya. Ini merupakan jalan yang pertama dan titik berangkat menuju kebaikan dan kebahagiaan, dan itu merupakan syarat yang tak terpisahkan dari cinta kepada Allah.
Dzikir kepada Allah selalu ingat dan mengucap asma Allah, termasuk salah satu syarat yang wajib dipenuhi dalam rangka cinta kepada Allah .
Taat kepada Allah. Taat dan patuh kepada Allah merupakan syarat dasar cinta kepada Allah, sekaligus hubungan kuat yang mengikatkan hamba yang mencintai dengan penciptanya, tunduknya yang lemah kepada Yang Maha Perkasa, mengikatkan seorang pecinta kepada kekasihnya, dalam semua aspek kehidupan. Dengan demikian, tanda-tanda cinta seorang hamba kepada kekasihnya adalah sejauh mana ketaatan hamba tersebut dalam melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Ikhlas kepada Allah. Asas lain bagi cinta kepada Allah yang mesti dimiliki oleh seorang hamba yang mencintai-Nya adalah dia harus ikhlas kepada-Nya, menjauhkan diri dari kemusyrikan dan rasa riya’didalam cintanya.
Takut kepada Allah. Takut kepada Allah membentuk motif yang sangat kuat untuk menjauhkan manusia dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Tawakal kepada Allah. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam kaitannya dengan rasa cinta kepada Allah adalah tawakkal. Tawakkal kepada Allah dalam semua kondisi dan situasi akan membangkitkan cinta yang kuat dan semangat yang kuat, dan dari situlah segala kesulitan tidak akan berarti lagi. Pada saat seperti itu, maka hamba tersebut akan merasakan bahwa disitu terdapat sandaran yang sangat kuat dan kukuh yang menopang. Yang melindungi dan menyelamatkannya setiap saat.
Syukur kepada Allah. Syukur seorang hamba kepada kekasihnya hendaknya muncul dari pengetahuan atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya.
Sabar. Sabar yang dimaksud disini adalah sabar dalam menghadapi apa yang diwajibkan-Nya dan yang datang dari dan ditujukan kepadanya.
Syarat-Syarat Ma’rifat
Ma’rifat ialah pengetahuan, mengetahui sesuatu dengan seyakin- yakinnya. Bilamana seseorang ingin mencapai kondisi makrifatullah, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
Harus memiliki niat dan tekad serta keyakinan ingin bertemu dengan Allah.
Harus memiliki kemerdekaan berpikir dengan membebaskan diri dari segala macam fanatisme beragama. (toleransi beragama).
Mencari dan mendapatkan seorang guru mur-syid yang benar-benar sudah makrifat.
Pembersihan jiwa melalui takhalli, tahalli, dan tazalli.
Didalam situasi apapun selalu mengingat (berpikir) kepada-Nya.
Senantiasa mensyukuri nikmat Allah.
Melihat sesuatu baik itu kejadian, peristiwa, kesulitan maupun musibah, dihadapinya dengan tenang, tabah, dan tawakkal.
Menyukai tafakur
Harus dapat mengenal diri pribadi
Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa dikembalikan kepada sumbernya, yaitu sang Pencipta. Karena itu seseorang yang sudah didalam kondisi makrifat, maka ia melihat segala sesuatu pada hakikatnya semata-mata melihat Allah.
Harus dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
Ia harus dapat melihat tanpa mata (dengan mata hati)
Ia harus dapat mendengar tanpa telinga
Ia harus dapat berjalan tanpa kaki
Ia harus dapat bekerja dan berbicara tanpa menggunakan tangan maupun lidah (bahasa roh)
Ia bahkan harus mati selagi hidup (al fana nash), dan sesudah itu barulah ia dapat mendengar sabda Tuhan dan bertemu dengan Dia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahabbah dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika berkeinginan untuk bertemu dengan kekasih, yaitu Allah SWT. Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya. Ma’rifah merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. Ma’rifat menurut konsep Al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan penyucian jiwa dan dzikir kepada Allah SWT secara terus menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya. dirinya akan mengenal Tuhannya. Dzunnun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Allah SWT menjadi tiga macam, yaitu : Ma’rifat al-Tauhid (awam), Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas), dan Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas).
Syarat- Syarat Mahabbah adalah ma’rifah kepada Allah, Dzikir kepada Allah, Taat kepada Allah, Ikhlas kepada Allah, takut kepada Allah, tawakal dan syukur kepada Allah, dan sabar. Syarat Ma’rifah adalah harus memiliki niat dan tekadd serta keyakinan bertemu dengan Allah, harus memiliki kemerdekaan berpikir, mencari dan mendapatkan seorang guru mur-syid yang benar-benar sudah makrifat, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zaini, 2016, Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali, Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1
Hamka, 2016, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf, Jakarta: Republika Penerbit
Mina Wati, 2017, Skripsi: Konsep Mahabbah dan Ma’rifat dalam Tasawuf Dzunnun Al-Mishri, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Muhammad Alfan, 2011, Psikologi Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Murni, 2014, Konsep Ma’rifatullah menurut Al-Ghazali, Ar-Raniri: Internasional Journal Of Islamic Studies Vol. 2 No. 1
K. Permadi, 1997, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT Rineka Cipta
Wasalmi, 2014, Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiah, Sulesana, Vol. 9 No. 2
Komentar
Posting Komentar